(Belajar menulis di SMA, 19 februari 2019)
Ponco A.Kardomo, Alumnus SMA Gombong 1983

Dari empat keterampilan berbahasa Indonesia, menulis adalah keterampilan yang paling jarang dikembangkan di sekolah menengah. Fakta itu dirasakan oleh banyak mahasiswa tahun terakhir ketika menulis karya ilmiah. Banyak coretan diberikan oleh dosen karena tulisan mereka belum memenuhi persyaratan. Tetapi Petrus & Gaduh berbeda. Sudah sejak di SMA Gombong mereka mengembangkan keterampilan wacana tulis. Mereka sudah tahu apa itu esai, bagaimana susunannya, berapa besar perbandingan antarparagraf dan sebagainya. Ketika Pak Krismanto memberi ulangan menulis esai di kelas II, Gaduh & Petrus meraih nilai terbaik, masing-masing mendapatkan angka 7 dan 8. Saya mendapatkan nilai 3 dan saya sedih sekali. Penasaran dengan hasil yang mereka peroleh, saya mencoba meminjam baca untuk tahu apa yang membuat kedua karya tulis rekan ini bagus. Tak puas dengan hasil pengamatan sendiri, saya berbicara langsung dengan kedua rekan yang sama-sama perokok berat itu.
Gaduh tak banyak memberi penjelasan. Dia hanya mengatakan bahasanya harus jelas karena bahasa yang jelas itu cermin pikiran yang jelas pula. Saya hanya mengerti sedikit dari penjelasan Gaduh. Dari Petruslah saya mendapatkan pengetahuan lebih banyak mengenai apa itu esai. Esai itu tersusun atas tiga bagian yaitu pembuka, isi & penutup. Bagian pembuka memberi gambaran kepada pembaca mengenai isi esai. Bagian isi biasanya terdiri dari 2 atau 3 paragraf lebih besar dari bagian pembuka. Bagian penutup memberi kesimpulan atau menyatan kembali dengan kata-kata yang berbeda dengan apa yang ditulis di paragraf pembuka. Saya baca lagi tulisan kedua rekan itu. Memang keduanya mudah dibaca karena tersusun secara sistematis dan ditulis dengan diksi dan gaya bahasa yang menarik. Petrus juga menjelaskan bagaimana menggambarkan suatu objek sedemikian rupa sehingga pembaca seakan-akan melihat objek itu dengan mata kepala sendiri. Yang terutama dibuat menarik, katanya, adalah bagian awal agar pembaca tertarik untuk melanjutkan ke bagian isi.
Ketika kuliah pada tahun 1984, saya mendapatkan kembali penjelasan Petrus di buku EKSPOSISI & DESKRIPSI karya Gorys Keraf. Kembali saya kagum dengan Petrus & Gaduh yang mampu membuat esai ekspositoris & deskriptif di usia 18 tahun. Ingin menahu lebih lanjut, saya mencoba membaca buku “Handbook for writers” karya Glen Legget & William Charvart. Dari dua buku yang saya baca setelah 3 tahun berpisah dengan dua rekan sekelas itu, saya menyimpulkan bahwa Gaduh & Petrus adalah pembaca yang baik bahkan di usia muda. Saya ingat rumah Gaduh yang berlangganan Kompas, juga Petrus yang sering berbagi hasil bacaan di Kompas. Penulis yang baik banyak belajar dari kegiatan membacanya. Dari situlah imajinasi kreatifnya berkembang. Dari situ pula kemampuan bereksposisi dan berargumentasi berkembang.
Sayang sekali setelah saya belajar menulis dari kedua rekan ini, Pak Krismanto, juga Pak Marsito di kelas 3, tak lagi memberi ulangan menulis esai. Kesempatan saya membuktikan hasil belajar tinggal keinginan. Walaupun begitu saya tetap bersyukur dapat belajar dari karya rekan.
Terima kasih Petrus atas kerelaanmu mengajariku menulis di kampus Kendal Growong 37 tahun lalu.
Ditulis oleh Ponco A. Kardomo pada tanggal 25 April 2024
selalu mencerahkan, barokallah
sehat selalu Pak Ponco, Prof. Imam dan Bunda Nur Aini
Terimakasih bu dokter yang tidak bosan untuk mengajariku
Masya Allah luar biasa, cerita yang mencerahkan. Terima kasih Pak Ponco, Prof. Imam Robandi, Bu Nur Aini. Salam semangat dari Kota Bukittinggi
Luar biasa
terimakasih bu Imah Wuryanti
Keren , saya harus banyak belajar sama Bu Nur nih….motivasi belajar
Sama-sama belajar bu Sayyidah