RABI’AH AL’ADAWIYAH

(Sufi wanita yang dikagumi sepanjang masa)

Sufisme atau Tasawuf adalah gerakan Islam yang mengajarkan ilmu cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak, membangun lahir dan batin serta untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud dalam Islam dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Berikut tulisan dari sahabat IRo-Society bapak Ponco A. Kardomo dari Tangerang Selatan tentang Rabi’ah Al’Adawiyah.

Lahir sebagai anak keempat dalam keluarga sangat sederhana di Basrah, Irak, pada 714 M, Rabi’ah Al ‘Adawiyah kehilangan kedua orang tuanya sewaktu kecil dan dijual sebagai budak. Tetapi suatu hari dia dibebaskan oleh majikannya yang ketakutan karena melihat cahaya di atas kepalanya sewaktu Rabi’ah beribadah di malam hari. Semenjak pembebasannya, dia pergi menyendiri ke padang pasir untuk memusatkan seluruh waktu dan energinya untuk beribadah, di siang hari dia berpuasa, di malam hari dia berdzikir dan berdo’a. Do’anya dikagumi manusia sepanjang masa di seluruh belahan bumi. Rabi’ah juga diceritakan sebagai sufi sakti. Konon Hasan Al Basri, ulama dan zahid terkemuka di Basra pada abad 8 M, mengajaknya sholat berjema’ah dan dia menggelar sajadahnya di atas oase. Rabi’ah menolak, alih-alih dia mengajak Hasan Al Basri sholat berjema’ah di udara, lalu dia layangkan sajadah ke udara dan dia pun melompat ke atasnya. Hasan Al Basri mengaku kalah sakti dan Rabi’ah menjawab, ” Di hadapan Tuhan, manusia tak dipandang karena kesaktiannya, tetapi karena pengabdiannya yang tulus kepada Sang Pencipta.” Terpesona oleh kesaktiannya, suatu hari Hasan Al Basri datang melamarnya. Rabi’ah menjawab lamarannya, “Kau harus minta izin kepada kekasihku.” Yang dimaksud kekasih adalah Tuhan. Rabi’ah memandang Tuhan sebagai zat yang dicintai, bukan ditakuti. Paham seperti itu dalam tasawuf disebut Al Mahabah.

Diceritakan bahwa salah satu makanan yang biasa disantap Rabi’ah adalah sup bawang. Dia tak makan sup daging. Ketika berjalan ke padang rumput, kawanan rusa berlarian mendekatinya. Semuanya menanti untuk dibelai tangan sang sufi wanita. Tetapi mereka kemudian kabur karena datang Hasan Al Basri. Bertanyalah dia, “Do’a apa yang kau baca wahai Rabi’ah sehingga rusa-rusa itu sayang padamu.” Rabi’ah hanya menggelengkan kepala dan berkata, “Mereka takut padamu karena kamu pemakan daging, bukan vegetarian.”
Kisah lain mengatakan bahwa Rabi’ah sering berkeliling kota Basra sambil membawa obor dan gayung. Orang banyak terheran-heran dan bertanya mengapa begitu. Jawab Rabi’ah, “Aku akan membakar surga dan memadamkan api neraka.” Dengan kalimat itu dia mengajak masyarakat manusia untuk beribadah bukan karena mengharapkan surga atau karena takut neraka, melainkan karena cinta kepada Sang Pencipta. Do’a indahnya yang berisi gagasan di atas memukau sastrawan Danarto dan dia pun menuliskan do’a itu dalam salah satu cerpennya di Kompas Minggu pada dekade 1980an.
Suatu malam, Rabi’ah berdialog dengan Tuhan. Empat kalimat di dalamnya sering ditulis ulang dalam banyak buku tentang mistisisme dalam Islam atau tasawuf:
Kekasih hatiku, hanya Engkaulah yang kucinta;
Beri ampunlah kepada pembuat dosa yang datang ke hadiratMu;
Engkaulah harapan, kebahagiaan dan kesenanganku;
Hati telah enggan mencintai selain dari diriMu.


Ponco A. Kardomo
pengagum Rabi’ah Al-Adawiyah di Tangerang Selatan

4 Comments

  1. Semua orang, dapat mencapai derajat wali, sepanjang dirinya dapat berkomitmen untuk mengimplementasikan takwa pada seluruh inderanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *